Panen Asap


Saya heran dengan kasus kebakaran hutan di Sumatera yang (pasti) terjadi setiap tahun dan terulang terus. Kenapa bisa terjadi? Kenapa tidak diantisipasi oleh pemangku daerah setempat? Kenapa tidak bisa ditanggulangi? Siapa yang bertanggungjawab? Bla..bla..bla... ahhh ternyata pengetahuan saya soal gambut dan kebakaran hutan masih awam.
Setelah wara-wiri di gugel (lebih spesifiknya di media sosial Fa*****k) munculah titik terang dari seorang pakar dan senior di bidang gambut dan kebakaran hutan yang berbaik hati membagikan ilmu dan pengetahuannya terkait masalah "asap" ini. Berikut kutipan wacananya;
Hotspot 12 Maret 2014, source by here

Indra Arinal (mantan petugas lapangan lahan basah)

Tahun demi tahu kebakaran gambut tidak ada hentinya, kalau beberapa tahun sebelumnya yang berteriak-teriak adalah negara-negara tetangga, maka saat ini ancaman bahaya asap gambut itu menghujam ke anak negeri sendiri.  Sebenarnta tahun-tahun sebelum itu bukan berarti anak negeri tidak mendapat bahaya, namun teriakan negara tetangga mengalahkan jeritan anak kandung sendiri. Selain itu kalau tahun-tahun sebelum ini sumber asap berasal dari berbagai provinsi di Indonesia maka tahun ini kelihatannya hanya satu provinsi yakni Provinsi Riau.  Jadi lag Riau menjadi pusat perhatian berbagai pemberitaan.  Jadilah dia begitu spesial.

Sesuai dengan judul tulisan ini, Kebakaran Gambut adalah bagaikan benang kusut yang sulit dicari ujung pangkalnya.  Sebagaimana menghadapai benang kusut, jika ujung pangkalnya bisa ditrmukan, maka bagaimanapun kusustnya akan bisa diselesaikan. Namun ini tidak, “susah menemukan mana pangkalnya, siapa penyebab utamnya, mana ujungnya dan siapa yang kena dampak utama.  Banyak penyebabnya dan para ahli tentu sudah menelitinya dan menjadi disertasi berbagai gelar Doktor.  Sebagai mantan petugas lapangan penulis pernah berhubungan langsung beberapa tahun dengan kasus kebakaran gambut ini.

Secara tradisional masyarakat yang hidup di daerah gambut telah mengolah gambut aecara turun temurun.  Pengolahannya pun dari dulu, mungkin semenjak kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, juga dibakar, tetapi kenapa tidak menjadi kasus? Menelusuri inilah kita bagaikan masuk kedalan jalur benang kusut. 

Pengolahan gambut menurut musim; musim hujan gambut tergenang karenanya tidak mungkin diolah dan ditanami.  Baru setelah memasuki musim panas beberapa gambut mulai mengering petani melaukukan pembakaran. Karena hanya untuk kebutuhan hidup satu keluarga, bukan untuk kebutuhan permintaan pasar, lahan yang diolahpun tidak banyak.  Sekitar seperempat  sampai satu hektar.  Jika satu hektar itu sudah termasuk yang terbesar. Kebakaran gambut pada waktu itu tidak meluas dari sekedar yang dibutuhkan karena sebagian besar gambut-gambut tersebut masih jenuh air (basah). Setelah dibakar, dibersihkan dan ditebakan benih padi dan seterusnya sampai panen.  Begitulah berulang-ulang tanpa masalah.

Tiba lah satu era dimana lahan gambut dilirik oleh perusahaan besar untuk berbagai kegiatan perkebunan dan kehutanan.  Karena itu perusahaan besar yang akan memenuhi kebutuhan pasar yang selalu berkembang tentu mereka tidak akan mengolah secara tradisonal, mengikuti musim. Setiap hari, minggu dan bulan harus berproduksi.  Caranya adalah dengan mengeringkan gambut tersebut.  Lahan gambut harus kering baik musim panas maupun musim hujan.  Caranya adalah dengan membuat parit dan kanal.  Paritnya luas, dalam dan panjang samapi ke sungai utama.  Jadilah lahan gambut puluhan ribu hektar menjadi kering. 

Tentu mereka telah memperhitungkan secara matang sehingga parit-parit tersebut tidak akan memberi dampak pada usaha  perkebunannya. Pendek kata usahanyan berhasil, keuntunganpun diperoleh. Kegitan tersebut legal karena mengantongi izin dari yang berwewenang, tentu sebelum izin keluar AMDAL pun sudah dibuat dan lulus uji. Tidak ada hukum yang dilanggar.

Dari satu perusahaan muncul perusahaan lain dan lain dan lainnya. Puluhan perusahaan mungkin muncul.  Lahan gambutpun sudah berubah fungsi seluas jutaan hektar. Parit dan kanal pun panjangnya bisa menyamai jalan raya antara provinsi.

Kembali kita ke petani tadi yang mengolah lahannya secara tradisional.  Namun sebelumnya kita kembali ke mereka, sebaiknya kita tanjau sekilas lahan gambut itu apa.  Lahan gambut sebenarnya adalah lahan yang terbentuk dari tumpukan-tumpukan material organik besar dan kecil.  Kecilnya mungkin dari putik sari sebuah bunga yang gugur yang jatuh kedalam genangan air.  Besarnya mungkin berupa pohon kayu besar seukuran kubah mesjid yang usianya ratusan tahun.  Selama bertahun-tahun, mungkin ribuan atau jutaan tahun material organik tersebut terurai, terfermentasi aerob da anaerobe. Secara fisik dia berubah begaikan lapisan-lapisan “gabus’ yang mampu menyerap dan menahan air. Gambut itu tidak mungkin terjadi di punggung bukit, pasti terjadinya dicekungan-cekungan yang mengandung air. Kebanyakan di dataran rendah.  Karena banyaknya lapisan bertumpuk-tumpuk selama jutaan tahun, terjadilah bukit-bukit kecil yang disebut “dome” atau kubah.

Kemampuan gambut dan kubahnya menahan air merupakan susuatu angka yang tidak terbayangkan oleh manusia.  Bayangkan hujan berhari-hari bahkan berbulan-bulan di sebaian besar dataran tinggi Sumatera bagian Barat dapat diserab oleh gambut yang ada di pantai timur Sumatera.  Oleh sebab itula kita tidak pernah mendengar banjir yang berlarut-larut pada dekade tahun 50-an. Sekarang dengan dibuatnya parit-parit dan kanal-kanal secara masif dierusahaan besar maka kemampuan menyimpan air tadi menjadi nihil.  Kemana perginya air? Tentu ke sungai.  Sungai yang volumenya tidak bertambah tentu akan meluap kemana-mana.  Terus kemana lagi?... Tidak salah, air masuk kelahan gambut petani yang tidak mempunyai parit dan kanal.  Akibatnya sangat fatal, berbulan-bulan petani tidak bisa menggarap lahannya.  Pernah suatu lahan terbenam dari satu musim ke musim berikutnya, alias gagal tanam.

Dalam suatu Musrembang berbagai desa mengajukan pembuatan parit dan kanal seperti halnya perkebuan besar tadi.  Dinas teknis terkaitpun mengaamiinkan, karena mereka peduli akan produktifitas penduduk yang merosot tajam.  Disusunlah proyek oleh dinas teknis terkait lainnya untuk membuat parit dan kanal. Didatangkanlah beco-beco raksasa membelah menghujam lahan, bumi diperkosa bagaikan gadis tak berdaya.  Saking banyaknya dan dominannya parit tersebut ada kampung yang bernama Parit Satu, Dua, Tiga dan seterusnya. Al hasil seluruh lahan gambut telah dipetak-petak dengan parit dan kanal. Gambut menjadi kering dan mudah dibakar pada saat matahari bersinar sebentar saja.

Disamping itu adalagi kanal yang dibuat oleh para pelaku ilegal logging.  Tujuannya adalah untuk sarana transportasi kayu dari jauh tengah-tengah hutan ke muara sungai. Kemapuan kanal inipun tidak kalah menguras air gambut seperti pada areal budidaya alinnya. 

Nah, tiba lah saatnya ketika musim tanam tiba, semua orang turun ke ladang membakar semak sebagaimana ajaran nenek moyang.  Kalau pada zaman nenek moyang tidak ada masalah, sekarang kjadi bencana karena seluruh areal gambut sudah kering.  Bayngakan kalau suatu kanal bisa dalamnya dua meter lebih, maka gambut bisa mengering sampai kedalaman satu meter atau lebih.  Dasar gambut itu adalah material organik yang kadang-kadang belum cukup lapuk maka dia akan cepat terbakar.  Terbakarnya tidak hanya diperkukaan tetapi sampai kedalaman satu meter atau lebih.  Api menjalar tidak di dipermukaan melambai-lambai puluhan meter, tetapi tersembunyi bagaikan dalam sekam.   Yang muncul hanya asap.  Asap yang juncul juga berlipat-lipat karena yang terbakar adalah material lembab.  Sebagai uji coba secara mudah, bandingkanlah jumlah asap pembakaran jerami kering dengan jerami basah.  Tentu asap dari jerami basah akan terbentuk puluhan kali banyaknya. Karena di bawah permukaan penjalarannya tidak terkendali.

Kenapa sulit memadamkan kebakaran di lahan gambut?
Jawabannya adalah api akan padam di lahan gambut kalau bahan bakar berupa gambut tadi habis, atau gambut kembali basah, jenuh dengan air.  Kalau kasus pertama yang terjadi maka akan terjadi penurunan permukaan lahan.  Penururunan ini bukan main-main bisa sampi belasan meter.  Konkritnya kalau itu terjadi maka Kota Jambi bisa kembali menjadi terbenam menajdi laut.  Kalau hal kedua yang terjadi yakni membuat gambut jenuh air kembali maka cobalah dihitung-hitung kalkulasi sederhana di bawah ini:

1.  Misalnya lahan gambut yang terbakar ada seluas 1.000 ha artinya 1.000 x 10.000 m2 sama dengan 10.000.000 m2 dibaca sepuluh juta meter persegi.
2.  Jika pengurasan gambut sedalam dua meter maka lahan yang kering paling tidak sampai kedalaman satu meter.  Padahal banyak kejadian pengurasan gambut sampai 3 meter atau lebih. Artinya volume gambut ada 10 juta m2 kali 1 m sama dengan sepuluh juta meter kubik.  Sifat gambut dia bisa menyerap air lebih besar dari volumenya sendiri. OK-lah, kita anggap saja dibutuhkan 10 juta meter kubik air untuk membuat dia jenuh. 10 juta meter kubik itu sama dengan 10.000.000.000 liter air. Dibaca sepuluh miliyar liter air.  Nah sekarang orang mencoba memadamkan kebakaran gambut dengan pompa diesel yang kemapuannya sekitar 40 liter per detik atau 1.200 liter per jam.  Dibutuhkan paling tidak 8 juta jam pemompaan air.  Sekarang hitung sendiri berapa hektar yang terbakar.

Oleh karenanya kebakaran gambut hanya mampu dilakukan kalau adanya campur tangan Tuhan dengan mendatangtkan hujan.  Atau....atau, kita tutup kemabli kanal-kanal yang sudah dibuat tersebut.  Paling tidak buat lah kanal dengan teknologi sedemikian rupa sehingga dengan cara mekanik dan komputer bisa diatur kelembaban gambut.  Itu bisa dilakukan. Buatlah kanal secara bertingkat.  Buatlah pintu-pintu air untuk setiap level ketinggian air tertentu. Keringkan gambut sekitar 20 atau 25 cm saja sehingga dapat dibersihkan saja.

Oleh karena penyebab kebakaran gambut ini adalah keputusan kita bersama, maka tentu seharusnya untuk menanggulanginya juga dilakukan secara bersama-sama.  Jangan saling menunjuk hidung. Kembalikan dia kepada kodratnya, atau dia akan membakar kita kemudian menenggelamkan bumi ini.

Penutup

Tulisan ini adalah penagalaman dan pengamatan pribadi, tidak ada penelitian, tidak ada studi, telaah pustaka apalagi kutipan literatur.  Tidak ilmiah memang, namun itulah realita lapangan. Untuk mencari kebenarannya pembaca bisa main-main bertahun-tahun ke dalam hutan, bergaul dengan masyarakat tradisional.

Mungkian ada kesalahan, tetapi tidak tertutup juga ada kebenaran di dalam ulisan ini.  Mohon hendaknya jika ada kelemahan tidak menghapus sama sekali kebenaran yang ada walaupun secuil saja.

Tulisan yang sangat menarik dan informatif serta menjawab semua pertanyaan yang berseliweran di kepala saya. Terima kasih Pak Arinal atas sharing ilmunya soal gambut dan kebakaran hutan, semoga siapapun yang membaca tulisan ini menjadi lebih mengerti dan bisa menyikapi masalah "asap" dengan bijak dan tanpa menghakimi. 

Selanjutnya saya ingin berbagi kutipan lainnya yang cukup inspiratif dan patut direnungkan;

Hutan digunduli..pasir di sungai dikeruk..serapan air minim diganti gedung tinggi..bantaran sungai jadi rumah...Masih mau salahkan cuaca? Alam di tukar menjadi uang semua..sekarang silahkan anda gunakan uang untuk menahan banjir (bencana).
(Nurdin Chaeriama, senior E) 

Terakhir dari saya "be nice to nature and nature would be nicer to us"

Salam Lestari
 

 
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film : EXHUMA

Rak Serbaguna

Perilaku Konsumtif itu Ga Keren